Makalah Ilmu Hadist : Dhobith, Jar dan Tadlil
Nama : Annasiqotul Ummah
Nim : 2022116099
Prodi : Pendidikan
Bahasa Arab
Pembahasan Pertama
1.
Pendahuluan
Karena hadits Rasulullah saw. sampai kepada kita melalui jalur para perawi, maka mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui keshahihan atau tidaknya suatu hadits. Karena itu pula para ulama hadits sangat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadits, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode yang mereka miliki.
Karena hadits Rasulullah saw. sampai kepada kita melalui jalur para perawi, maka mereka menjadi fokus utama untuk mengetahui keshahihan atau tidaknya suatu hadits. Karena itu pula para ulama hadits sangat memperhatikan para perawi. Mereka telah membuat berbagai persyaratan yang rinci dan pasti untuk menerima riwayat para perawi. Ini menunjukkan jauhnya pandangan para ulama hadits, lurusnya pemikiran mereka, dan kualitas metode yang mereka miliki.
Berbagai
persyaratan yang ditentukan para perawi dan syarat-syarat lain bagi diterimanya suatu hadits atau berita
tidak pernah ada dan tidak pernah dijumpai pada agama manapun, bahkan hingga pada masa kini, pada diri
orang-orang yang mengaku memilki
metode yang rinci (khususnya kalangan sejarawan Barat maupun Timur, baik klasik maupun modern). Mereka
tidak membuat dan memiliki persyaratan dalam menerima suatu berita seperti yang disusun oleh
ulama mushthalah hadits terhadap para perawi. Bahkan standar yang paling rendah
sekalipun. Banyak berita (informasi) yang disampaikan, termasuk oleh berbagai kantor
berita (informasi) yang disampaikan, termasuk oleh berbagai kantor berita resmi,
tidak bisa dipercaya dan tidak dapat dijadikan pijakan yang benar. Ini disebabkan karena
perawinya majhul (tidak jelas dan tidak dikenal). Padahal “tidaklah suatu berita itu
cacat, melainkan terletak pada perawinya”. Berita-berita (informasi) yang mereka ekspor banyak yang tidak shahih, dan yang benar hanya
sedikit.
2.
Syarat-syarat diterimanya
rawi
Jumhur
dari imam hadits maupun fiqih sepakat bahwa terdapat dua syarat pokok bagi
perawi hadits:
a)
Keadilan: dengan memberi
perhatian bahwa rawi itu harus seorang muslim, baligh, berakal, selamat dari
sebab-sebab kefasikan, selamat dari cemarnya muru’ah (sopan-santun).
b)
Dlabith: dengan memberi
perhatian bahwa rawi itu tidak menyelisihi dengan rawi tsiqah, hafalannya tidak
buruk, tidak parah kekeliruannya, tidak pelupa, dan tidak banyak persangkaan
(wahm)-nya.
3.
Keadilan dapat dipastikan
melalui salah satu dari dua hal:
a)
Bisa dengan ketetapan dua
orang yang adil yaitu dua orang ulama ta’dil atau salah seorang dari mereka
menetapkan keadilannya.
b)
Bisa juga dengan ketenaran
dan kepopuleran. Jadi barang siapa yang populer di kalangan ahli
ilmu, dan banyak memujinya, hal itu sudah cukup. Tidak diperlukan lagi
penentuan adil baginya. Contoh imam-imam yang terkenal, seperti imam yang
empat, dua Sufyan, al-Auza’i dan lain-lain.
4.
Pendapat Ibnu Abdil Barr
dalam menetapkan keadilan
Ibnu
Abdil Barr berpendapat, bahwa setiap orang yang memiliki ilmu, dikenal
perhatiannya terhadap ilmunya, maka ia telah menyandang sifat adil, hingga
jelas (dijumpai adanya) jarh (cacat). Beliau berargumen pada hadits: “Ilmu itu
akan dibawa oleh setiap orang yang mengikuti keadilannya, terhindar dari
penyimpangan orang-orang yang dusta, meniru-niru orang yang bathil, dan
penafsiran orang-orang yang bodoh.” (HR Ibnu ‘Adi dalam kitab Kamil. Al-‘Iraqi
berkomentar bahwa seluruh jalur (periwayatan hadits ini) dla’if (lemah), tidak
bisa ditetapkan sedikitpun. Namun sebagian ulama menghasankannya, karena
banyaknya jalur, rinciannya lihat dalam kitab at-Tadrib, juz I/302-303).
5.
Mengetahui rawi yang
Dlabit
Rawi
yang dlabith dapat diketahui melalui kesesuaian riwayatnya dengan rawi yang
tsiqah yang cermat. Jika riwayatnya itu lebih banyak yang sesuai dengan
rawi-rawi tsiqah, maka ia dlabith. Dan hal itu tidak rusak meskipun ada sedikit
riwayatnya itu menyelisihi riwayat rawi-rawi tsiqah, maka kedlabitannya bisa
hilang, dan tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.
6.
Apakah Jarh dan Ta’dil itu Dapat Diterima Tanpa
Penjelasan ?
a)
Mengenai ta’dil dapat diterima walaupun tidak
disebutkan sebab-sebabnya. Ini menurut pendapat yang shahih dan populer. Karena
penyebab ta’dil itu amat banyak, sulit untuk membatasinya, jika (hal itu)
diperlukan maka seorang mu’addil (yang menetapkan keadilan seseorang) akan
mengatakan: “Lam yaf’al kadzaa (dia tidak melakukan hal itu), lam yartakibu
kadzaa (dia tidak terjerumus dalam perbuatan itu).” Atau mengatakan: “Huwa
yaf’alu kadzaa (dia melakukan hal itu), wa yaf’alu kadzaa wa kadzaa (dia melakukan
hal itu dan hal itu).”
b)
Mengenai jarh, tidak diterima kecuali dengan
menjelaskan sebab-sebabnya, karena tidak sulit untuk dijelaskna. Terdapat
perbedaan mengenai sebab-sebab jarh. Kadangkala seseorang menjarh dengan
sesuatu yang tidak masuk kategori jarh. Ibnu Shalah berkata: “Hal ini sudah
jelas menjadi keputusan dalam ilmu fiqih dan ushul. Imam al-Hafidh al-Khathib
menyebutkan bahwa itu merupakan pendapat para imam huffadh hadits. Tetapi, imam
Bukhari, Muslim dan lainnya mengkritik hal itu. Oleh karena itu Bukhari tetap
berargumen dengan sekelompok orang (generasi) terdahulu yang terkena jarh
–tetapi bukan ditetapkan oleh dirinya- seperti ‘Ikrimah dan Amru bin Marzuq.
Begitu pula yang dilakukan Muslim terhadap Suwaid bin Sa’id dan sekelompok
orang yang dikenal cacat. Hal yang sama dilakukan oleh Abu Daud. Ini
menunjukkan bahwa jarh tidak bisa ditetapkan secuali jika disertai penjelasan
mengenai penyebab (jarh)nya.
7.
Apakah Jarh dan Ta’dil
bisa dengan ketetapan seorang saja?
a)
Yang benar adalah bahwa
jarh dan ta’dil ditetapkan oleh satu orang.
b)
Ada pula yang berpendapat,
bahwa hal itu harus dari dua orang.
Nama : Yoko
Yuliant Santosa
Nim : 2022116104
Prodi : Pendidikan
Bahasa Arab
8.
Terhimpunnya jarhdan
ta’dil pada seorang Rawi
Apabila dalam diri seorang rawi terhimpun jarh dan ta’dil,
maka:
a)
Yang dijadikan sandaran
adalah mendahulukan jarh-nya jika jarh-nya itu disebutkan.
b)
Ada juga yang berpendapat,
jika lebih banyak jumlah orang yang menta’dilkannya dibandingkan dengan yang
menjarh-nya maka didahulukan ta’dilnya. Ini
pendapat yang lemah, tidak bisa dijadikan sebagai sandaran.
9.
Hukum riwayat yang adil dari seseorang
a)
Riwayat orang (rawi) yang adil, dari seseorang,
tidak dianggap sebagai penta’dilnya terhadap orang itu. Ini pendapat mayoritas,
dan ini pendapat yang benar. Tetapi ada juga yang berpendapat, bahwa orang ini
dita’dilkan.
b)
Perbuatan orang-orang alim dan fatwa-fatwanya
yang sesuai dengan hadits tidak bisa dihukumi sebagai shahih. Dan
pertentangannya tidak bisa dijadikan sebagai cela atas keshahihannya maupun
riwayatnya. Namun ada juga yang bependapat bahwa hal itu justru menunjukkan
keshahihannya. Ini merupakan pendapat al-Amidi dan yang lainnya dari kalangan
ahli ushul. Topik ini memerlukan pembahasan yang panjang lebar.
10. Hukum
riwayat orang yang telah bertaubat dari sifat-sifat fasik
a)
Dapat diterima oleh berbuatan dari orang fasik
b)
Riwayat dari orang yang bertaubat dari
(perbuatan) dusta terhadap hadits Rasulullah saw. tidak dapat diterima
11. Hukum
riwayat orang yang mengambil upah
a)
Sebagian berpendapat, tidak bisa diterima. Ini
pendapat Ahmad, Ishaq, dan Abi Hatim
b)
Sebagian
lain berpendapat, bisa diterima. Seperti pendapat Abu Nu’aim al-Fadl bin Dukain
c)
Abu Ishaq asy-Syaizari
berpendapat, bagi orang yang kesulitan memperoleh penghidupan untuk mencukupi
kebutuhan keluarganya karena kesibukannya dalam mencari hadits dibolehkan
mengambil upah.
12.
Hukum riwayat orang yang
dikenal menggampangkan, atau menerima Talqin, atau banyak lupa.
a)
Riwayat orang yang
menggampangkan dalam mendengar maupun memperdengarkan tidak bisa diterima;
seperti yang tidak memperhatikan tatkala mendengar hadits karena tertidur, atau
menceritakan hadits dari sumbernya tanpa melakukan pengecekan.
b)
Riwayat orang yang dikenal
menerima talqin dalam hadits tidak bisa diterima; yaitu orang yang mengajarkan
hadits dari orang yang tidak tahu bahwa itu merupakan haditsnya.
c)
Tidak diterima riwayat
dari orang yang dikenal banyak lupa dalam periwayatan.
13. Hukum riwayat orang yang menyampaikan hadits lalu lupa
a)
Definisi orang yang
menyampaikan hadits lalu lupa: jika seorang syekh tidak ingat terhadap riwayat
yang diceritakan muridnya, dan (riwayat itu ternyata) darinya.
b)
Hukum riwayatnya:
1)
Ditolak, jika peniadaannya secara pasti. Karena
adanya perkataan: “Maa rawituHu (aku tidak meriwayatkannya).” Atau: “Huwa
yakdzibu ‘alayya (dia berdusta terhadapku).” Dan sejenisnya.
2)
Diterima: jika peniadaannya bersifat tidak
pasti. Seperti perkataan: “Laa a’rifu (aku tidak tahu)”, atau “Laa adzkuruHu
(aku tidak ingat).” Dan semacamnya
c)
Apakah penolakan suatu
hadits dapat dianggap cacat terhadap salah satu dari keduanya? penolakan suatu
hadits tidak dianggap sebagai cacat terhadap salah satu dari keduanya, sebab,
salah satu dari keduanya tidak lebih parah cacatnya dibandingkan yang lainnya.
d)
Contoh: hadits riwayat
Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah, yang merupakan riwayat dari Rabi’ah bin Abi
Abdurrahman dari Suhail bin Abi Shaleh dari bapaknya dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah saw. telah memutuskan (dengan hanya berlandaskan pada) sumpah dan
seorang saksi. Abdul Aziz bin Muhammad ad-Darawardi berkata:
telah bercerita kepadaku Rabi’ah bin Abi Abdurrahman dari Suhail. Lalu aku
berjumpa dengan Suhail. Aku bertanya kepadanya mengenai (rantai hadits
tersebut) yang berasal darinya, namun dia tidak
mengetahuinya. Maka aku berkata, telah bercerita kepadaku Rabi’ah, dari engkau,
begini….begini…. setelah itu Suhail berkata: Telah bercerita kepadaku Abdul
Aziz dari Rabi’ah dari aku, bahwa aku menceritakan hadits dari Abu Hurairah ra.
secara marfu’ begini..begini..
e)
Kitab yang populer: Akhbar man Haddatsa wa
Nasiya, karya al-Khathib
Nama : Wirda
Kumala
Nim : 2022116103
Prodi : Pendidikan
Bahasa Arab
Pembahasan Kedua
Pandangan umum tentang buku buku karangan Jarh dan
Tad’lil
Mengingat penetapan shahih dan
dla’ifnya hadits didasarkan pada beberapa perkara,
antara lain keadilan dan kedlabitan perawi, atau cacatnya keadilan dan kedlabitan mereka, maka para ulama
telah menyusun berbagai kitab yang menjelaskna mengenai
keadilan dan kedlabitan mereka, maka para ulama telah menyusun berbagai kitab yang menjelaskan mengenai keadilan dan
kedlabitan para perawi, yang diambil dari para
imam mu’addil (yang ahli dalam menetapkan keadilan atau cacat seseorang) dan t erpercaya. Ini dikenal dengan nama at-ta’dil.
Selain itu juga disusun berbagai kitab yang menjelaskan
cacatnya aspek keadilan sebagian perawi, termasuk kedlabitan dan hafalan mereka, yang diambil dari para imam yang
tidak memiliki sikap ta’ashub (fanatik t erhadap
terhadap golongan). Ini dinamakan dengan jarh. Dari sini pula
kitab-kitab t ersebut dinamakan dengan kitab-kitab jarh dan ta’dil.
Kitab-kitab semacam ini sangat
banyak dan bermacam-macam. Ada yang menjelaskan
perawi tsiqah; ada juga yang menjelaskan perawi dlaif yang cacat; dan ada juga yang menjelaskan keduanya, baik
perawi yang tsiqah maupun yang dlaif. Dari sisi lain, sebagian kitab-kitab itu ada yang bersifat umum
menyebutkan para perawi hadits tanpa
memperhatikan lagi rijal kitabnya, atau kitab-kitab tertentu dari kitab-kitab
hadits. Tapi ada
pula yang khusus memuat biografi para perawi kitab tertentu dari kitab-kitab hadit.
Apa yang
dilakukan oleh para ulama jarh dan ta’dil dalam menyusun kitab-kitab tersebut
merupakan pekerjaan yang amat bernilai dan amat melelahkan. Mereka melakukan
penelusuran yang akurat untuk mengetahui biografi seluruh rawi hadits; dan menjelaskan
jarh dan ta’dil terhadap para perawi hadits –sebagai langkah awal-. Setelah itu
menjelaskan siapa-siapa saja yang mengambil (hadits) darinya, dan siapa pula
yang mengambil
dari mereka, kemana saja mereka bepergian, kapan perjumpaan mereka dengan
para syekh (guru-guru mereka), dan memastikan masa mereka hidup; semua itu dilakukan
para ulama jarh dan ta’dil, dengan upaya perncapaian yang tidak pernah dila kukan
dan dicapai umat-umat lain; bahkan umat yang ada pada masa sekarang ini pun tidak
sanggup untuk mendekati apa yang telah disusun oleh para ulama hadits, yang
telah meletakkan
semacam ensiklopedi yang amat besar tentang biografi para rijal dan perawi hadits;
mereka menghafalnya sepanjang hari untuk mengetahui secara sempurna para perawi
hadits dan penyampaiannya. Semoga Allah swt memberikan kepada mereka pahala
dan kebaikan.
Sebagian
dari kitab-kitab tersebut adalah:
1)
Tarikh al-Kabir, karya Bukhari. Kitab umum yang
memuat para perawi tsiqah maupun yang dlaif.
2)
Al-Jarhu
wa at-Ta’dil, karya Ibnu Abi Hatim. Kitab umum yang memuat para perawi tsiqah
maupun yang dlaif, menyerupai kitab sebelumnya.
3)
Ats-Tsiqah, karya Ibnu Hibban. Kitab yang khusus
memuat perawi tsiqah.
4)
Al-Kamil fii adl-Dlu’afa, sebagaimana terpampang
pada judul kitab.
5)
Al-Kamil fii Asma-i Ar-Rijal, karya Abdul Ghani
al-Muqaddisi. Kitab umum, tetapi khusus memuat para perawi hadits yang terdapat
dalam kutub as-Sittah.
6)
Mizan al-I’tidal, karya adz-Dzahabi. Kitab yang
khusus memuat rawi-rawi dlaif dan matruk (yaitu setiap rawi yang dijarh, meski
jarhnya tidak bisa diterima).
7)
Tahdzib at-Tahdzib, karya Ibnu Hajar. Merupakan
ringkasan dari kitab al-Kamil fii Asma-i ar-Rijal.
Nama : Abdul
Khamid
Nim : 2022116105
Prodi : Pendidikan
Bahasa Arab
Susunan kerusakan dan perbuatan
Ibnu Abi
Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya kerusakan dan perbuatan t elah
membagi kerusakan dan perbuatan menjadi
empat macam. Masing-masing tingkatan dijelaskan hukumnya. Kemudian para ulama telah menambah lagi dengan dua
tingkatan kerusakan dan perbuatan sehingga
menjadi enam tingkatan, yaitu:
1)
Tingkatan perbuatan dan
Lafadz-lafadznya
a)
Lafadz yang menunjukkan
mubalaghah (kelebihan) dalam hal ketsiqahan (keteguhan), atau lafadz yang
mengikuti wazan af’ala. Contohnya: fulanun ilaihi al-muntaha fii
at-tatsabbut (si fulan itu paling tinggi keteguhannya), atau fulanun atsbata
an-naas (si fulan itu termasuk orang yang paling teguh).
b)
Lafadz
yang memperkuat salah satu sifat atau dua sifat tsiqah. Seperti tsiqatun tsiqah
(orang yang sangat-sangat tsiqah), atau tsiqatun tsabitun (orang yang tsiqah
dan teguh).
c)
Lafadz (ungkapan) yang menunjukkan ketsiqahan
tanpa ada penguatan. Seperti, tsiqatun (orangnya tsiqah), atau hujjatun
(orangnya argumen)
d)
Lafadz yang menunjukkan ta’dil tanpa
menampakkan kedlabitan. Seperti shaduqun (orangnya jujur) atau yang sama
kedudukannya dengan shaduq, atau la ba’sa bihi (orangnya tidak punya masalah
–cacat) yang diungkapkan selain oleh Ibnu Ma’in, karena kata la ba’sa bihi yang
ditujukan terhadap rawi dan dikatakan oleh Ibnu Ma’in mempunyai arti tsiqah.
e)
Lafadz yang tidak menunjukkan ketsiqahan atau
tidak menunjukkan adanya jarh. Contohnya, fulanun syaikhun (si fulan itu
seorang syeikh/guru) atau ruwiya ‘anhu an-naas (manusia meriwatkan darinya).
f)
lafadz diucapkan yang
mendekati dengan adanya jarh.
Contohnya, fulanun sholahiul hadits [ si fulan itu
seorang yang bagus hadits telah dibukukan]
2)
Hukum Tingkatan-Tingkatan Tersebut
a)
Untuk tiga tingkatan yang
pertama, orang-orangnya dapat dijadikan sebagai hujjah, meski sebagian dari
mereka kekuatannya berbeda dengan sebagian lainnya.
b)
Untuk tingkatan keempat
dan kelima, orang-orangnya tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Meski
demikian, haditsnya bisa dicatat dan diberitakan, walaupun mereka tergolong
tingkatan yang kelima, bukan keempat. Maksudnya adalah diberitahukan
kedlabitannya, untuk (riwayat) haditsnya, dibandingkan hadits-hadits yang
tsiqah dan dlabith. Jika mereka sesuai haditsnya, maka haditsnya dapat
dijadikan sebagai hujjah, jika tidak maka tidak dapat dijadikan sebagai hujjah.
Jadi jika dikatakan shaduq terhadap rawinya, maka haditsnya tidak dapat
dijadikan sebagai hujjah sebelum adanya penjelasan. Karena itu, adalah keliru
orang-orang yang menyangka bahwa seseorang yang dikomentari dengan shaduq
berarti haditsnya hasan; karena hadits hasan itu bisa dijadikan sebagai hujjah.
Ini menurut pengertian para imam jarh dan ta’dil. Sedangkan al-Hafidz Ibnu
Hajar, dalam kitabnya Taqrib al-Tahdzib, mempunyaik pengertian khusus terhadap kata
shaduq. wallaaHu a’lam.
c)
Untuk tingkatan keenam, orang-orangnya tidak
bisa dijadikan sebagai hujjah. Meski demikian hadits-hadits mereka dicatat hanya
sebagai pelajaran, bukan sebagai sebuah berita (hadits yang bisa diriwayatkan)
ini karena menonjolnya ketidakdlabitan mereka.
3)
Tingkatan Jarh dan
Lafadz-Lafadznya
a)
Lafadz yang menunjukkan
lunak (yaitu yang paling ringan jarhnya). Contohnya, fulanun layyinun al-hadits
(si fulan hadits-haditsnya lunak), atau fihi maqalun (di dalamnya
diperbincangkan).
b)
Lafadz yang menunjukkan
tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, atau yang serupa. Contohnya, fulanun la
yuhtajju bihi (si fulan tidak bida dijadikan sebagai hujjah), atau dlaif
(lemah), lahu manakir (dia haditsnya munkar)
c)
Lafadz yang menunjukkan
tidak bisa ditulis haditsnya, atau yang lainnya. Contohnya, fulanun laa yuktabu
haditsuHu (tidak boleh meriwayatkan hadits darinya), dlaif jiddan (amat lemah),
wahn bin marratin (orang yang sering melakukan persangkaan).
d)
Lafadz yang menunjukkan
adanya tuduhan berbuat dusta, atau yang sejenisnya. Contohnya, fulanun
muhtammun bi al-kadzib (si fulan yang dituduh berbuat dusta), atau muthammun bi
al-wadl’i (orang yang dituduh berbuat palsu) atau yasriqu al hadits (yang
mencuri hadist), atau saqithun (gugur), atau matruk (ditinggalkan) atau laisa
bi tsiqah (tidak tsiqah)
e)
Lafadz yang menunjukkan
adanya perbuatan dusta, atau yang semacamnya. Contohnya kadzdzab (pendusta)
atau dajjal, atau wadla’ (pemalsu), atau yukadzdzibu (didustakan) atau yadl’u
(pembuat hadits palsu)
f)
Lafadz yang menunjukkan
adanya mubalaghah (tingkatan yang amat berat) dalam perbuatan dosa. Dan ini
tingkatan yang paling buruk. Contohnya fulanun akdzabu an-naas (si fulan itu
orang yang paling pendusta), ilaihi muntaha fi al-kadzabi (dia orang yang
menjadi pangkalnya dusta), huwa ruknu al kadzbi (dia orang yang menjadi
penopang dusta)
4)
Hukum Terhadap Masing-masing Tingkatan
a)
Untuk dua tingkatan yang pertama, maka
hadits-hadist yang diriwayatkan oleh orang-orang itu tidak bisa dijadikan
sebagai hujjah. Akan tetapi hadits-hadits mereka bisa ditulis sebagai pelajaran
saja, meski mereka itu termasuk kelompok tingkat yang kedua, bukan tingkat yang
pertama.
b)
Sedangkan yang termasuk
empat tingkatan terakhir, hadits-hadits mereka tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah, bahkan tidak boleh ditulis, dan tidak boleh dijadikan sebagai
pelajaran.
Komentar
Posting Komentar