Makalah Sejarah dan Paradigma Hermeneutika

BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Agama ini membawa kedamaian serta kesejahteraan bagi setiap umat manusia. Seperti yang banyak diketahui bahwa di dalam agama islam, kitab suci Al-Qur’an adalah sebagai pedoman bagi perjalanan hidup umat muslim. Al-Qur’an mengarahkan kepada jalan yang benar, yaitu jalan yang di ridhoi Allah swt. Selain Al – Qur’an hadist,qiyas, dan ijtihad adalah aspek yang melengkapi Al – Qur’an, artinya ayat – ayat di dalam Al – Qur’an yang lafadz dan maknanya belum bisa di mengerti secara jelas akan di perjelas lagi di dalam hadist – hadist yang disampaikan Nabi SAW maupun Qiyas serta Ijtihad dari para ulama.
Di era sekarang berkembangnya pemikiran-pemikiran modern menimbulkan berbabagai kontroversi di ruang lingkup kajian teologis. Aliran-aliran pemikiran seperti liberalisme, komunis mengubah prinsip-prinsip di dalam berbagai aspek kehidupan termasuk di dalam aspek agama. Agama islam sebagai agama yang banyak di anut oleh masyarakat dunia selalu mendapat tekanan dari kaum-kaum revormis yang ingin mengubah pandangan mayarakat dunia terhadap agama ini.
          Hermeneutika yang berkembang pada pertengahan abad masa rennaisance keluar sebagai metode baru dalam menafsirkan kitab bible(injil) yang engedepankan rasionalitas sebagai pendekatan ilmiahnya. Berawal dari hal tersebut hermenetika merambah pada penafsiran kitab suci Al-Qur’an. Hal ini menimbulkan perdebatan diantara para ulama salaf yang berpegang pada pemikiran ulama-ulama klasik dan para cendikiawan-cendikiawan muslim modern yang terpengaruh oleh pemikiran-pemikiran orang barat. Ulama-ulama salaf menghawatirkan hal ini akan menghilangkan makna sesungguhnya dari ayat-ayat Qur’an itu sendiri. Maka perlunya kajian yang mendalam agar tidak terjadi ketimpangan dalam menafsirkan ayat-ayat suci Al-Qur’an serta perlunya pendalaman ilmu tafsir yang sudah menjadi ajaran pokok sejak zaman sahabat hingga sekarang .
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah munculnya hermeneutika ?
2.      Apa saja ruang lingkup hermeneutika ?
3.      Apakah yang disebut hermeneutika sebagai pendekatan bahasa ?
4.      Apakah yang disebut hermeneutika sebagai pendekatan tafsir ?

C.     Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimana sejarah munculnya hermeneutika, untuk mengetahui aliran-aliran hermeneutika, untuk mengetahui hermeneutika sebagai pendekatan bahasa serta hermeneutika sebagai pendekatan tafsir.







BAB II
PEMBAHASAN

A.       Sejarah Hermeneutika Klasik (Plato-Aristoteles)
Hermeneutika ditinjau dalam sudut pandang sejarah memiliki berbagai jalan yang mengartikannya sebagai sarana untuk memberi penjelasan tentang asal muasal makna katanya. Didalam literatur-literatur pengantar hermeneutika yang banyak beredar sering dinyatakan bahwa kata hermeneutika berkaitan dengan kata “hermes” yaitu seorang dewa dalam  agama Yunani kuno. Penulis Yunani kuno yang mula-mula memakai istilah yang pengertiannya dikemudian hari menjelma menjadi istilah hermeneutika, sebagaimana yang kita pahami sekarang adalah plato. Kata ermeneutike muncul dalm rangkaian karya plato sebanyak 3 kali (politicus 260, d 11, epinomis, 975, c, 6, definitions, 414, d, 4 ).
Penggunaan hermeneutika oleh plato tidak menunjukan konsistenan arti, bahkan hanya satu yang langsung ditulis plato yaitu politicus, karena dua karya yang lain adalah tulisan academia. Dalam definitions ermeneutika dipakai sebagai adjectiva ketika mendefinisikan kata benda, yaitu sebagai ucapan yang utuh dan padu yang memaksudkan apa yang diatributkan kepada hal yang eksis dan segala sesuatu yan berkaitan dengan substansi hal tersebut.disitu terlihat bahwa ermeneutika berartiyang memaksudkan sesuatu yang menunjukan sesuatu. Sementara dalam epinomis dan politicus, hermeneutika dipakai sebagai adjectiva, hal yang menarik dalam epinomis sebuah teks platonik yang tidak terlalu spesifik bahasanya namun paling mewakili spirit plato, dibahas persoalan pengetahuan apa yang akan membawa orang kegerbang kearifan. Berbagai kekaburan makna akan kata ermeneutika beberapa ahli mencoba menggabungkan pengertian kata ermeneutika dengan pengertian ramalan. Leon Robbin menerjemahkannya menjadi tafsiran atas wangsit, sementara Lamb menerjemahkannya sebagai tafsiran dengan membukukan catatan bahwa tafsiran yang dimaksud adalah tafsiran atas bisikan ghaib, ilham dari langit, dan sebagainya. [1]
Aristoteles pun berkecimpung dalam mengkaji tentang peri hermenias akan tetapi hanya berkaitan dengan apa yang dikenal dengan stilstika fakta didalamnya bahwa orang-orang yunani menggunakan kata yang sama untuk mensifati ucapan linguistik, penyataan dan gaya yang sangat jelas karena gaya adalah cara memaksudkan, mengungkapkan, dan menyampaikan sesuatu kepada orang lain, sehingga bahasa itu sendiri merupakan gaya, sebab dia adalah sarana mengungkapkan sesuatu sekaligus sebagai sesuatu yang akan dipahami orang lain. Fungsi-fungsi yang kemudian menyatu kedalam kata ermenia adalah : memaksudkan sesuatu melalui bahasa, menerjemahkan pikiran kedalam ungkapan dan membuat seseorang agar dapat dipahami orang lain.[2]   
B. Sejarah Hermeneutika Abad Pertengahan (Kant-Schleiermacher)
Seorang filsuf Jerman bernama Imanuel Kant membuat sebuah karya penting yaitu critiqiue of pure reason (1781). Kant melakukan destruksi terhadap metafisika dokmatis yang pada akhirnya membuka jalan bagi kedatangan abad hermeneutika. Pandangan Kant bawha usia metafisika yang duamilenium itu tidak menghasilkan pengetahuan yang sesungguhnya, melainkan hanya ilusi, pada dasarnya adalah pandangan yang benar-benar bersifat hermeneutis. Rasio metafisis tidak hanya menhasilkan kebenaran yang kasar, tetapi juga ersifat fiksi, interprestasi, dan bahkan shopistry (rasio dbar kusir dengan tujuan menipu). Apa yang dikira metafisika sebagai kebenaran yang rasional tidak lebih dari delusi yang hanya bisa disadari setelah dilakukan dekonstruksi yang sangat teliti terhadap kapasitas kognisi diluar rana pengalaman yang terbatas. Logika transendental memandu alam sebagaimana diproduk atau dituntut oleh kategori pikiran kita. Hal tersebut merupakan ide refolusioner yangmengindikasikan suatu peralihan dari metafisika ke hermeneutika, suatu rana dimana seseorang tidak lagi memiliki akses sesuatu dialam dirinya sendiri, tetapi hanya berbagai interpretasi tentang sesuatu yang dihasilkan dengan peranti konseptual kita.
 Pengaruh umum critique Kant yang menimbulkan rasa putus asa dalam hubungannya dengan rasionalitas. Pada awalnya, Kant ingin menemukan suatu pondasi metafisika baru yang dia coba cari dalam filsafat moral dan metafisika alam yang baru. Rasio seakan-akan terperangkap dalam 2 hal: tidak mampu keluar dalam  ranah fenomena, dan dilam ranah ini pun, ia hanya bersinggungan dengan proyeksi-proyeksinya sendiri dan bukan dengan sesuatu dalam dirinya sendiri. F.H.Jacobi  di sisi lain mengikuti indikasi-indikasi yang dia temukan dalam pemukiran kant (sebagai contoh, pasase terkenal tahun 1787 dimana kant mengaku harus membatasi pengetahuan untuk member jalan bagi keimanan), hingga sampai kesimpulan yang lain : Hideisme. Jika pemahaman tidak bisa membawa kita kepada realitas satu-satunya hal yang bisa memberikan pengertian tentang sesuatu yang objektif dan kokoh adalah keyakinan kepada suatu otoritas yang lebih tinggi dari pada otoritas rasio kita yang terbatasi, yang hanya bisa menggiring kita kepada Nihilisme
Selain itu, Fideisme Jacobi juga memiliki pengaruh langsung kepada bapak hermenutika kontemporer, Friedrich Schleiermacher dalam discoursee on Religion (1799), schleirmacher mengikuti Jacobi dalam menolak klaim- klaim ilmu pengetahuan rasional dan menggolongkan sentimen keagamaan sebagai salah satu ketergantungan kota, suatu keyakinan terhadap realitas yang melebihi pemahaman kita yang terpecah- pecah. Tawaran romantik tentang sentimen keagamaan ini imbas tak langsung dari pelecehan Kant terhadap rasio dalam Critique- nya yang pertama. Schlermarcher membedakan dua cara mengartikan arti seni interpretasi : pengertian yang longgar dan pengertian yang ketat. Dalam pengertianya yang longgar atau “santai”, pemahaman merupakan sesuatu yang terjadi secara alamiah ketika seseorang membaca sebuah teks.
Dalam pendapatnya ini bahwa hermeneutika adalah ilmu bantu yang diperlukan ketika seseorang tersandung pada bagian-bagian teks yang sulit, suatu ilmu yang tidak diperlukan selama pemahaman relatif berjalan lancar. Berdasarkan pengertian yang ketat, suatu teori pemahaman harus mengikuti maksim (hukum) bahwa kesalahpahamanlah yang justru muncul secara otomatis atau alamiah dan bahwa pemahaman harus dicari dan didasarkan pada setiap langkah interpretasi. Schleiermachem menggantungkan pemahaman yang benar hanya bisa lahir dari suatu interpretasi yang dilandaskan pada aturan-aturan dan kanon-kanon kunstlehre. Seperti contoh bagaimana seseorang bisa memahami suatu karya seorang jenius tanpa salah paham terhadap karya-karya seorang jenius, jika memahami berarti menempatkan interprendung (apa yang akan dipahami) dibawah apa yang telah kita ketahui. Kita dikatakan memahami sebuah ucapan jika kita membawa ucapan itu atau mengaitkannya dengan kata-kata yang sudah akrab dengan kita. Karena jika seseorang mengklaim telah memahami suatu kejeniusan yang orisinil, pada saat itu dia telah merekdusinya sekedar sesuatu yang telah familiar dan biasa, dan oleh karena itu ia telah menyalahpahaminya. Contoh lainnya dalam komunikasi biasa antar pribadi, kapankah kita bisa memastikan bahwa kita saling memahami satu sama lain? Jika kita tidak pernah terpengaruh oleh pengaruh-pengaruh yang telah mempengaruhi kehidupan mereka seterusnya. Dia menderivasikan suatu pendapat dari premisnya tentang kesalahpahaman bahwa pemahaman manusia niscaya bersifat dialektis atau bersifat dialogis, jika kita ingin menghindari konotasi-konotasi spekulatif konsep dialektika hegel.[3]
C. Ruang Lingkup Hermeneutika
1. Hermeneutika Sebagai Pemahaman Corak
 Schleiermacher menjelaskan bahwa tidak ada persoalan seberapa dalam bakat khusus bagi pengetahuan individual terhadap orang lain, kecuali bakat ini di kombinasikan dengan bakat wawasan linguistik baik sebagai tapal batas gramatis atau penembusan psikologis terhadap individualitas pengarang melalui style coraknya, tidak ada pemahaman yang memadai akan berhasil. Pada tahun 1819 schleiermacher menyimpulkan arti penting style dengan tajam : “pemahaman yang dipenuhi dengan style adalah keseluruhan tujuan dari hermeneutika.”[4]  
2. Hermeneutika yang Fokus pada Bahasa
Schleiermacher menulis bahwa tugas hermeneutika adalah untuk “Bergerak dari dua perbedaan pandangan: memahami bahasa dan memahami pembicara.”[5] Aporisme paling awal menyatakan bahwa seseorang harus memiliki pemahaman tentang orang itu sendiri untuk memahami apa yang ia bicarakan , dan bahkan seseorang menjadi tahu apa yang dibicarakan manusia dari pembicaraanya,[6] Hermeneutika adalah seni memahami pembicara berdasarkan apa yag dibicarakan, namun bahasa masih merupakan kunci. Dalam aphorisme awal lainnya, Schleiermacher menyatakan :“setiap sesuatu yang dipra-anggapkan dalam hermeneutika hanya bahasa dan begit pula dengan sesuatu yang harus ditemukan; di mana pra-anggapan obyektif dan subyektif yang lain mestinya harus diperoleh melalui[atau dari luar ]bahasa.
3. Hermeneutika yang berisi cara untuk memahami
Hermeneutika jenis ini adalah hermeneutika teoritis. Hermeneutika ini merekomendasikan pemahaman konteks sebagai salah satu aspek yang harus dipertimbangkan untuk memperoleh pemahaman yang komprehensif. Selain pertanyaan- pertanyaan seputar makna teks seperti makna teks secara marpologis, leksikologis, dan sintaksis; Perlu pula pertanyaan- pertanyaan seperti dari siapa teks itu berasal ? untuk tujuan apa, dalam kondisi apa, dan bagaimana kondisi pengarangnya ketika teks tersebut disusun? Dan lain sebagainya. Orang- orang yang dapat di pandan sebagai pelopor dalam hermeneutika kedua jenis ini adalah Schleiermacher, W Dilthey dan juga Emilio Betti.
4.         Hermeneutika yang berisi cara untuk memami pemahaman
Hermeneutika jenis ini melangkah lebih jauh dalam dataran filosofis, sehingga lebih dikenal sebagai hermeneutika filosofis. Dalam hermeneutika ini focus perhatianya dadalah pada aspek psikologisnya,  sosiologisnya, historisnya, dan lain sebagainya termasuk terhadap pemahaman dan penafsiran sebagai prasyarat eksistensial manusia. Di dalam konteks ini seseorang dituntuk melakukan suatu pemahaman terhadap suatu pemahaman lain dengan menelaah proses dan asumsi- asumsi yang berlaku dalam pemahaman tersebut, termasuk diantaranya konteks yang melingkupi dan mempengaruhi proses tersebut. Ada tujuan dalam hal ini:
a.       Untuk meletakan isi pemahaman yang dimaksud dalam porsi dan proporsi yang sesuai
b.         Untuk melakukan suatu produksi makna baru dari pemahaman terdahulu tersebut dalam bentuk kontekstualisasi. Tokoh yang memperkenalkan teori ini adalah Heideger dan Gadamer.[7]
5.      Hermeneutika yang berisi cara untuk mengkritisi pemahaman
Hermeneutika jenis ini lebih melihat bagaimana teks itu dipahami oleh pembaca, karaena pengarang tidak mampu menyetir pemahaman pembaca terhadap teks yang telah diproduksinya, sehingga teks pada dasarnya mutlak milik pembacanya untuk di pahami dan dihayati seperti apapun keinginannya.Di sisi lain tidak semua pemahaman itu berpola hermeneutis, dalam arti tidak semua pemahaman yang selain melihat teks (objek kajiannya) juga melihat konteks; Namun setiap pemahaman dapat dibaca dan dianalisis secara hermeneutis. Misalkan ketika para pembaca melihat adanya kajian hermeneutika terhadap teks- teks klasik yang tidak mengenal hermeneutic atau kajian hermeneutik terhadap pemikiran-pemikiran yang bahkan anti hermeneutic. Teks- teks klasik yang anti hermeneutic tersebut jelas tidak berpola hermeneutis, karena mungkin pengarangnya ketika menyusun tersebut tidak menimbang konteksnya; Namun produk upaya yang tidak hermeneutis tersebut bisa dikaji secara hermeneutis dengan mempertanyakan mengapa bisa muncul teks yang tidak hermeneutis tersebut ? Faktor apa saja yang mempengaruhinya dan lain sebagainya. Jawaban dari pertanyaan- pertanyaan ini jelas akan menghasilkan sebuah teks baru yang bercorak hermeneutis.
D.    Relevansi Hermeneutika terhadap kitab suci Al-Qur’an
Sebagai sebuah tawaran metodologi baru bagi pengkajian kitab suci, keberadaan hermeneutika pun tidak bisa dielakkan dari dunia kitab suci Al-Qur’an. Ilmu tafsir kontemporer yang beredar sekarang ini menunjukkan penafsiran Al- Qur’an dengan metode hermeneutika.[8]
Hasan Hanafi dalam tulisannya  Religious Dialogue and Revolution menyatakan bahwa hermeneutic tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori pemahaman, tetapi juga berarti ilmu yang menjelaskan penerimaan wahyu sejak dari tingkat perkataan sampai ke tingkat dunia. Dalam dekade 1960-1970-an muncul tokoh- tokoh yang mulai serius memikirkan persoalan metodologi tafsir ini. Hasan Hanafi mempublikasikan tiga karyanya yang bercorak hermeneutik;
1.              Yang berkaitan dengan upaya rekonstruksi ilmu ushul fiqh,
2.              Berkaitan dengan hermeneutika fenomenologis dalam menafsirkan fenomena keagamaan dan keberagaman,
3.              Berhubungan dengan kajian kritis terhadap hermeneutika eksistensial dalam kerangka penafsiran perjanjian baru.
Di dalam penafsiran Al- Qur’an dengan metode hermeneutika, pada dasarnya merupakan satu metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa dan kemudian melangkah kepada analisa konteks, untuk selanjutnya menarik makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat pemahaman dan penafsiran tersebut dilakukan. Jika pendekatan ini dipertemukan dengan kajian teks al-Qur’an, maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagamana teks al-Qur’an hadir ditengah masyarakat, lalu dipahami, di tafsirkan, di terjemahkan dan di dialogkan dengan dinamika realitas historisnya. Di titik inilah hermeneutika menemukan relevansinya dengan tawaranya untuk menimbang pluralitas dalam konteks dan progresifitas dalam kontekstualisasi ketika seseorang melakukan aktifitas pemahaman dan penafsiran.[9]









BAB III
KESIMPULAN

Berbagai perspektif dalam kajian bahasa memiliki sudut pandang yang berbeda-beda. Setiap orang akan mempunyai persepsi yang berbeda terhadap teks karena pendekatan pemahamannya yang berbeda pula. Tak jauh halnya dengan hermeneutika yang mempunyai konsepsi tersendiri dalam memahami sebuah teks. Penekanan kepada teks, konteks dan kontekstualisasi menjadi sangat penting untuk bisa memberikan pemahaman yang akurat, aktual dan pasti. Relevansinya terhadap Al- Qur’an menimbulkan asumsi tersendiri yang tidak bisa disatukan dengan metode hermeneutika. Hal ini bersandar bahwa penafsiran dalam Al-Qur’an memiliki otoritas yaitu ilmu tafsir Al-qur’an. Sehingga fleksibilitas hermeneutika yang ingin menjangkau pemahaman kontekstualitas ayat- ayat suci Al- Qur’an dengan penerapan kebebasan menjangkau sudut tersendiri yang tak harus terkekang oleh hukum mutlak yang menaunginya. 









DAFTAR PUSTAKA

Faiz, Fahruddin, 2011, Hermeneutika Al-Qur’an, Sleman Yogyakarta: Elsaq Press
Grondin, Jean, 2013, Sejarah Hermeneutik, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media
Palmer, Richard E., 2005, Hermeneutics, Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR




[1] Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik,(Jogjakarta:Ar-Ruz Media, 2013)
[2] Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik,(Jogjakarta:Ar-Ruz Media, 2013), hlm.45-57.
[3] Jean Grondin, Sejarah Hermeneutik,(Jogjakarta:Ar-Ruz Media, 2013), hlm.17-29

[4] Richard E. Palmer,Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, (Yogyakarta:PustakaPelajar,2003),hlm. 97- 103
[5] Ibid., h. 103
[6] Ibid., h. 104
[7] Fahrudin Faiz, Hermeneutika Al-Qur’an, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2005), hlm. 8-9
[8] Ibid., h, 12-16
[9] Ibid., h. 16-17

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Filsafat : Epistemologi, Ontologi dan Aksiologi

Di Tipu Oleh Pengemis dan Koruptor : Refleksi Pendekatan Teori Simbolik